Dari Pinggir Jalan ke Hati Banyak Orang: Kebaikan Kecil yang Berdampak Besar

Dari Pinggir Jalan ke Hati Banyak Orang: Kebaikan Kecil yang Berdampak Besar
Kota Medan - (15/05/25) Di tengah terik matahari yang menyengat, sebuah momen hangat terukir ketika Jestham menyapa seorang Ibu penjual es dawet di pinggir jalan. Dengan senyum ramah, Ia tak sekadar membeli minuman, tetapi juga mendengar cerita perjuangan sang Ibu yang telah berjualan selama 12 tahun. "Udah hampir 11-12 tahun lah," ujar sang Ibu sambil tersenyum. Perjalanan panjangnya dimulai bahkan sebelum Ia menikah, semua dilakukan demi menghidupi keluarga. Hari itu, Jestham memutuskan untuk membagikan kebaikan dengan cara yang sederhana namun penuh makna, memborong seluruh dagangan sang Ibu dan membagikannya gratis kepada orang-orang sekitar.
Antusiasme sang Ibu terlihat jelas saat Ia dengan cekatan membungkus es dawet demi es dawet. Wajahnya bersinar melihat senyum bahagia para penerima, mulai dari pedagang sekitar hingga pejalan kaki yang lelah. "Segar banget nih ya, Bu," komentar Jestham, sambil menyeruput es dawet buatan sendiri yang wanginya harum pandan. Rupanya, sang Ibu membuatnya sendiri dengan telaten, sebuah resep turun-temurun yang menjadi andalannya. Namun, di balik kesegaran es dawetnya, tersimpan perjuangan yang tak mudah.

"Tergantung cuaca, kalau panas habis, kalau hujan bisa setengah tong," cerita sang Ibu tentang penghasilannya yang tak menentu. Dalam sehari, jika dagangan laris, Ia bisa membawa pulang Rp500.000, tetapi setelah dipotong modal, bersihnya hanya sekitar Rp350.000. Yang lebih menyedihkan, saat hujan atau sepi pembeli, es dawet yang tak terjual terpaksa dibuang. "Sayang ke santannya," ucapnya dengan wajah sedih. Namun, semangatnya tak pernah pudar. Setiap hari, Ia memulai dagangan dengan senyuman dan harapan baru, karena bagi Ia, "Senyum itu adalah ibadah."
Kisah hidup sang Ibu pun tak kalah mengharukan. Ia telah kehilangan kedua orang tuanya sejak kelas 3 SMA, dan salah satu adiknya bahkan mengalami depresi akibat kehilangan tersebut. "Selagi masih ada orang tua, sayangilah mereka," pesannya dengan suara bergetar. Meski hidup tak mudah, Ia memilih untuk tegar dan terus berjuang. "Alhamdulillah, ada salat, ada Tuhan yang selalu membersamai," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Momen haru itu semakin lengkap ketika tiba saatnya Jestham membayar seluruh dagangan sang Ibu. Setelah menghitung, total harga es dawet yang tersisa adalah Rp48.000. Namun, Jestham tak sekadar membayar sesuai nominal, dengan tulus, Ia menyisipkan lebih banyak uang sebagai bentuk kepedulian dan dukungan untuk perjuangan sang Ibu. "Kalau bayarnya segini, boleh, Ibu?" ucap Jestham sambil menyodorkan uang yang jumlahnya jauh melebihi harga dagangan. "Baru pertama kali kayak gini," ujar sang Ibu, tak menyangka akan menerima kebaikan yang tak terduga. Rasa syukur dan kebahagiaannya terpancar jelas. "Alhamdulillah kali," bisiknya sambil tersenyum lebar. Jestham pun tak lupa mendoakannya, "Semoga jualannya laris-manis dan cepat dikasih momongan."
Cerita ini mengingatkan kita pada dua hal, ketangguhan seorang perempuan sederhana yang tak kenal lelah, dan kekuatan kebaikan kecil yang bisa menyebar begitu luas. Sebuah tindakan sederhana seperti membeli dagangan dan mendengarkan cerita hidup seseorang ternyata bisa memberi arti besar. Jestham bukan sekadar membagikan es dawet gratis, tetapi juga menghangatkan hati banyak orang, termasuk sang Ibu yang hari itu merasa sangat berarti.
Untuk sang Ibu penjual es dawet, semoga semangatmu tak pernah padam. Teruslah tersenyum, karena senyummu adalah inspirasi bagi banyak orang. Dan untuk kita semua, mari belajar bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil, selama dilakukan dengan tulus. Seperti kata Jestham, "Senyum adalah ibadah," dan hari itu, Ia telah membuktikannya.