Di Antara Teriknya Matahari : Kisah Seorang Renta yang Menghidupi Harapan dari Sebungkus Kerupuk

Di Antara Teriknya Matahari : Kisah Seorang Renta yang Menghidupi Harapan dari Sebungkus Kerupuk
Medan Timur, Kota Medan - (25/04/25) Di antara dinginnya malam dan teriknya siang, di tengah hiruk pikuk jalanan Kota Medan yang tak pernah berhenti, seringkali kita melihat sosok-sosok pejuang kehidupan yang mengarungi hari dengan segala keterbatasan. Salah satunya adalah seorang Kakek berusia 88 tahun, dengan langkahnya yang renta, memanggul sekarung kerupuk, menjadi saksi bisu perjuangan hidup di usia senja yang seharusnya diisi dengan ketenangan. Jalanan yang tak selalu ramah, menjadi saksi bisu setiap langkah beratnya.
Kisah pilu sang Kakek terungkap perlahan. Istri telah lebih dulu pergi meninggalkan dunia, anak tak pernah ada, hanya bayang-bayang kesendirian yang setia menemaninya di sela-sela dinding pabrik kerupuk yang kini menjadi rumahnya. Ia hanya menumpang, tidur beralaskan bangku panjang. Paru-parunya yang basah, sebuah penyakit yang menggerogoti fisiknya, tak pernah mampu membasahi semangatnya untuk terus bertahan hidup. Ia makan dari hasil penjualan kerupuk, dan hanya bubur yang bisa Ia konsumsi karena kondisi kesehatannya.

Di tengah perjuangan hidupnya, takdir mempertemukan kakek ini dengan hati mulia Jesica Thamrin, atau yang kerap disapa Jestham. Dengan mata yang berkaca-kaca, Jestham menghampiri sang Kakek yang terlihat lelah, bertanya dengan lembut, "Bapak mau ke mana?" Kakek itu menjawab dan langsung diketahui sang Kakek sedang menjajakan kerupuk yang sedang dibawanya. Jestham pun bertanya berapa harga satu bungkus kerupuknya, "Rp5.000." Sang Kakek mengaku belum ada satu pun kerupuknya yang terjual hari itu, sebuah kenyataan pahit yang membuat hati teriris.
Jestham kemudian bertanya tentang keluarganya. Kakek itu bercerita bahwa keluarganya jauh di Padang, dan Ia tidak bisa pulang kampung karena ongkos sebesar Rp450.000 tak pernah cukup Ia kumpulkan. Sambil menunjuk obat yang selalu Ia bawa, Kakek ini mengungkapkan bahwa Ia menderita paru-paru basah dan pecah tulang dalam, namun sudah terlalu lelah untuk berobat, hanya pasrah pada takdir. Dengan getir Ia mengatakan, "Awak hidup sebatang kara, tak ada anak, bini meninggal. Kalau anak ada, mungkin awak tak dibiarkan ini." Kalimat itu menggetarkan hati Jestham, menyadarkan betapa beratnya beban yang dipikul sang Kakek.
Tak berlama-lama, Jestham memutuskan untuk membeli seluruh kerupuk dagangan sang Kakek. Bersama-sama, mereka menghitung jumlah bungkus kerupuk yang ada, total 47 bungkus, yang seharusnya bernilai Rp235.000. Namun, Jestham memberikan lebih dari itu, sebuah rezeki yang membuat mata sang Kakek berbinar. "Ini untuk Bapak, rezeki dari Tuhan untuk Bapak hari ini," ucap Jestham dengan tulus. Senyum tulus merekah di wajah renta itu, Ia menengadahkan tangan, memanjatkan doa syukur yang tak terhingga atas rezeki yang diterimanya, memohon agar Jestham dilimpahi berkah dan rezeki dari Tuhan.
Jestham sempat menawarkan untuk membelikan makanan atau beras di minimarket terdekat, namun sang Kakek menolak dengan halus. Ia hanya bisa makan bubur, dan beras di rumah tempatnya menumpang sudah tersedia. Ia bersyukur, Ia hanya berharap agar Jestham diiringi dengan kesuksesan yang diberkati. Jestham tak henti-hentinya mendoakan kesehatan dan semangat bagi Kakek tersebut, memastikan bahwa rezeki yang diberikan juga mencukupi untuk pulang ke Padang jika sewaktu-waktu Ia ingin.
Terkadang, pelajaran terbesar hidup justru datang dari langkah-langkah renta di laluan yang kita lewati setiap hari. Tentang bagaimana ketabahan itu tak pernah lekang oleh waktu, tentang bagaimana sebuah senyuman tua masih bisa mengajarkan kita arti kehidupan yang sesungguhnya. Pertemuan antara hati mulia Jestham dan Kakek pejuang kerupuk ini adalah bukti nyata bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya, membawa harapan dan berkah di tengah kerasnya perjuangan hidup.