Kisah Haru Di Pinggiran Jalan : Perjalanan Bapak Pemulung Yang Tak Dianggap Keluarga

oleh Ramanda Aulizabullet
Ditinjau oleh Thomas Iskandar
Sumber: youtube/@ownerjestham
Sumber: youtube/@ownerjestham

Kisah Haru Di Pinggiran Jalan : Perjalanan Bapak Pemulung Yang Tak Dianggap Keluarga

Medan Marelan, Kota Medan - (03/04/25) Terik matahari siang itu begitu menyengat, seolah ingin menguji ketabahan setiap insan yang berjuang di bawahnya. Di tengah panas yang membakar, Jestham bertemu dengan seorang Bapak tua renta yang sedang menuntun sepeda bututnya dengan susah payah. Di keranjang sepedanya, tergantung setumpuk barang bekas seperti botol, kardus, dan kaleng yang menjadi sumber penghidupannya. Tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang penuh kerutan menceritakan betapa kerasnya perjalanan hidup yang Ia jalani. Namun, di balik semua itu, ada keteguhan hati yang tak pernah padam.



Bapak Tukimin, Pejuang Di Tengah Kehidupan
Bapak Tukimin, Pejuang Di Tengah Kehidupan


Bapak itu bernama Tukimin. Ia bercerita bahwa dulu Ia bekerja di pabrik gula, namun nasib berkata lain. Kecelakaan kerja membuatnya tak bisa lagi bekerja seperti dulu. "Saya ditabrak, tulangnya kelihatan," ujarnya dengan suara lirih. Sejak saat itu, Ia pun beralih menjadi pemulung, mengais rezeki dari barang-barang bekas yang Ia kumpulkan sedikit demi sedikit. "Kalau dijual, per kilonya cuma Rp200," katanya. Uang itu nyaris tak cukup untuk sesuap nasi, apalagi memenuhi kebutuhan hidup.



Bukan hanya masalah ekonomi yang Ia hadapi. Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru meninggalkannya. "Istri saya pergi, anak-anak juga enggak mau lihat saya," ucapnya dengan getir. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuannya sudah berkeluarga, namun tak satu pun yang peduli. Bahkan, ketika Ia datang berkunjung, mereka menganggapnya hanya sebagai pengemis. "Katanya saya datang mau minta-minta, padahal cuma rindu," lanjutnya dengan suara gemetar.



Namun, di tengah kepahitan hidup, Bapak Tukimin tetap memegang teguh imannya. Ia bercerita bahwa dulu Ia rajin salat, namun kini tak bisa lagi karena peci, sarung, dan sejadahnya hilang dicuri. "Saya taruh di tempat kumpulan barang saya, eh hilang," keluhnya. Meski begitu, Ia masih berusaha untuk mandi dan mengenakan pakaian bersih sebelum salat magrib, meski hanya dengan baju seadanya. "Salat itu yang membimbing saya, kalau enggak salat, saya enggak ada rezeki," katanya dengan keyakinan yang kuat.



Mendengar ceritanya, Jestham tak kuasa menahan haru. Ia pun memberikan sedikit rezeki yang Ia miliki. "Bapak, ini saya ada rezeki dari Tuhan, bisa dipakai untuk makan atau beli keperluan salat," ujarnya. Bapak Tukimin menerimanya dengan air mata berlinang, mengucap syukur atas pertolongan yang datang di saat Ia paling membutuhkan. Jestham pun mengingatkannya untuk tetap semangat dan tak putus berdoa. "Pertolongan Tuhan pasti datang, Bapak. Yang penting kita tetap sabar dan bersyukur."



Di balik penderitaannya, Bapak Tukimin adalah sosok yang gigih. Setiap subuh hingga asar, Ia menghabiskan waktu di masjid untuk berzikir dan salat, mencari ketenangan di antara kesulitan hidup. Sebelum berpisah, Jestham kembali menyemangati Bapak Tukimin. "Bapak, tetaplah kuat. Anak dan istri Bapak suatu saat pasti akan sadar. Yang penting, Bapak tetap sehat dan jangan putus berharap pada Tuhan." Bapak Tukimin mengangguk, matanya berbinar penuh harap.



Di tengah teriknya kehidupan, Tuhan selalu punya cara untuk mengulurkan tangan-Nya melalui hati orang-orang yang tergerak untuk berbagi. Meski badai hidup datang silih berganti, selama kita tetap mengingat-Nya, Dia tak akan pernah membiarkan kita berjuang sendirian. Seperti Bapak Tukimin, tetaplah berdiri tegak, karena di balik setiap kesulitan, ada mukjizat yang sedang dipersiapkan.

Referensihttps://youtu.be/qd56UClT82U