Hidup yang Dipikul di Pundak: Sebuah Renungan tentang Bertahan

Hidup yang Dipikul di Pundak: Sebuah Renungan tentang Bertahan
Medan Barat, Kota Medan - (10/11/25) Di bawah sengatan matahari yang tak berampun, seorang Bapak paruh baya terlihat hening merehatkan sejenak langkah-langkahnya di pinggir jalan. Pundaknya menanggung beban kerupuk dagangan yang masih tersisa banyak, sementara wajahnya memancarkan kelelahan bercampur tekad yang tak kenal menyerah. Sudah sejak pagi dia berjalan kaki mengitari wilayah ini, namun hasil penjualannya masih jauh dari cukup.
Jestham dan tim yang kebetulan melintas langsung menyapanya dengan hangat. "Mau ke mana, Pak? Kenapa berhenti di sini?" tanya Jestham penuh perhatian. Dengan wajah lelah namun tetap tersenyum, Bapak itu menjawab bahwa dia sudah berjalan sejak jam 9 pagi namun baru terjual Rp10.000 saja. "Bapak, saya ada rezeki dari Tuhan, saya mau borong semua boleh ya, Pak," ujar Jestham spontan, membuat mata Bapak itu berbinar.
Bapak berusia 48 tahun ini ternyata menyimpan kisah hidup yang penuh perjuangan. Setelah berpisah dengan sang istri, dia memilih untuk terus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri, Ia juga kerap berbagi rezeki untuk anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan empat orang cucu yang dicintainya. Meski usianya sudah tidak muda lagi, semangatnya tak pernah pudar. Setiap butir keringat yang menetes adalah bukti kasih sayangnya kepada keluarga.

Dagangan kerupuk yang dibawanya bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan simbol harapan. Harapan agar anak dan cucunya bisa hidup lebih baik darinya. Dalam hatinya tersimpan doa tulus, semoga generasi penerusnya tak perlu merasakan beratnya berjalan kaki menenteng dagangan di terik matahari seperti yang dia alami.
Saat menghitung sisa dagangan, Jestham menemukan masih ada 82 bungkus kerupuk dengan total Rp410.000. Alih-alih menawar, Jestham justru memberikan uang lebih sambil berkata, "Saya mau kasih segini, boleh ya Pak?" Reaksi Bapak itu sungguh mengharukan. Tangannya gemetar menerima uang itu, matanya berkaca-kaca. "Enggak pernah saya dapat begini, Bu," ucapnya lirih sambil terus mengucap syukur. Jestham pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya, "Saya salut banget sama Bapak. Di usia segini masih semangat bekerja untuk keluarga."
Yang paling menyentuh adalah pesan hidup yang ingin disampaikan Bapak ini kepada anak cucunya. Dengan suara bergetar dia berpesan, "Saya mau anak cucu jangan seperti kakeknya. Mereka harus sekolah, jangan putus asa." Kata-kata ini mengalir dari pengalaman hidupnya yang pahit, namun penuh keteladanan. Jestham pun terinspirasi oleh ketabahan pria yang meski hidup sendiri, tetap bertanggung jawab pada keluarganya. "Biasanya kan ayah banyak yang pergi ninggalin anak, tapi Bapak luar biasa," puji Jestham.
Di akhir pertemuan, Jestham memberikan doa dan semangat, "Bapak saya doakan sehat selalu. Jualannya laris manis. Semangat terus untuk anak dan cucu." Pesan penutupnya sungguh bermakna, "Apapun yang Bapak rasakan, capek lelah dalam jualan itu biasa. Tapi kita enggak boleh putus asa. Pasti selalu ada rezeki dan berkat Tuhan untuk orang sabar seperti Bapak."
Pelajaran berharga dari pertemuan ini begitu dalam. Di satu sisi, kita belajar tentang ketabahan seorang ayah yang tak kenal lelah berjuang untuk keluarga. Di sisi lain, kita diingatkan bahwa berbagi rezeki tidak harus menunggu kaya, tapi cukup dengan kepekaan hati saat melihat orang lain berjuang. Kisah Bapak penjual kerupuk ini membuktikan bahwa di balik kesederhanaan, seringkali tersimpan keteladanan hidup yang paling berharga.
Semoga setiap langkah Bapak penjual kerupuk ini selalu diberi kekuatan oleh Tuhan, setiap keringatnya menjadi berkah, dan setiap perjuangannya berbuah manis untuk keluarga tercinta. Di balik lelah yang tak terucap, semoga Bapak menyadari bahwa jasanya adalah bukti cinta yang tak ternilai, sebuah pengorbanan yang kelak akan berbalas kebahagiaan. Teruslah melangkah dengan semangat, Pak, karena di setiap pagi yang baru, selalu ada harapan dan rezeki yang Tuhan sediakan untuk hamba-Nya yang tak kenal menyerah.