Keteguhan Hati Seorang Bapak Ojol: Berjuang untuk Keluarga dan Tetap Berbagi di Tengah Kesulitan

Keteguhan Hati Seorang Bapak Ojol: Berjuang untuk Keluarga dan Tetap Berbagi di Tengah Kesulitan
Medan Selayang, Kota Medan - (11/01/25) Kota-kota besar selalu punya dua cerita, yang terlihat di permukaan, dan yang tersembunyi di balik senyum-senyum getir penghuninya. Seperti Bapak ojek online yang sore itu menarik perhatian Jestham, terlihat sang Bapak sedang duduk termenung di pinggir jalan, matanya kosong menatap ponsel yang tak kunjung berdering. "Bapak lagi ngapain?" tanyanya penuh perhatian. Dengan suara parau, Bapak itu menjawab, "Lagi tunggu orderan, Kak" Tak banyak berpikir, Jestham langsung mengulurkan tangan, "Bapak, saya ada rezeki nih dari Tuhan, mau ditraktir belanja gak?" Sejenak Bapak itu berusaha mencerna bahwa Ia tak salah mendengar lalu menerima tawaran tersebut.
Di dalam minimarket, terjadilah adegan yang mengharukan. Dengan semangat, Jestham menjelaskan, "Bapak boleh belanja apa aja, durasinya dua menit!" Pak Purwanto yang awalnya ragu, akhirnya menjawab polos, "Kebutuhan pokok dapur aja, Kak. Beras, minyak gitu." Saat timer dimulai, transformasi pun terjadi. Dengan lincah meski sudah berumur, Pak Purwanto berlari dengan antusias mengambil beras, telur, minyak, roti dan sebagainya sambil terus disemangati Jestham yang berseru riang, "Cepaaat Pak! Lagi! Lagi!" Dua menit penuh gelak tawa itu mengubah deretan rak supermarket menjadi panggung kehidupan sesungguhnya, di mana keranjang belanja yang sarat kebutuhan pokok menjadi simbol harapan yang terwujud.

Bapak Purwanto, begitulah Ia memperkenalkan diri, seorang perantau asal Aceh yang sudah 24 tahun mengais rezeki di Medan. Setiap hari, dari subuh hingga maghrib, Ia mengayuh motornya menembus terik dan hujan, dengan penghasilan yang tak seberapa, hari itu saja Ia hanya membawa pulang Rp46.000 setelah berjam-jam bekerja. Namun yang membuat kisahnya istimewa bukan sekadar tentang perjuangan hidupnya yang berat, melainkan tentang bagaimana di tengah keterbatasan yang menghimpit, Ia tetap menjadi lentera bagi sekitarnya. "Di rumah cuma berdua sama istri," katanya dengan senyum getir saat Ia menceritakan bahwa belum berezeki untuk memiliki anak. Istri tercintanya, Aidah, sedang berjuang melawan sakit jantung dan akan berobat menggunakan BPJS. Ia juga mengungkap kebiasaannya berbagi meski dirinya sendiri kerap kekurangan.
Obrolan mereka mengalir lebih dalam. Ketika diminta menyampaikan pesan untuk istrinya, suara Pak Purwanto bergetar penuh emosi, "Aidah, semoga cepat sembuh. Kita lewati ini bersama. Abang selalu setia kerja tiap hari demi kita berdua." Kata-katanya sederhana, namun mengandung lautan makna tentang kesetiaan yang tak tergoyahkan, tentang cinta yang tak bertepuk sebelah tangan, tentang pengorbanan tanpa syarat. Jestham pun tersentuh. Di dunia yang kerap mengukur segala sesuatu dari materi, ketegaran dan kemurahan hati Bapak ini bagai oase di tengah gurun. Dengan tangan terbuka, Jestham memberikan bantuan tambahan sebagai bentuk dukungan. Bukan sekadar bantuan materi, melainkan pengakuan bahwa kebaikan seperti milik Bapak Purwanto layak diterima oleh dunia.
Pak Purwanto menggenggam erat dengan mata berkaca-kaca. "Enggak bisa saya membalasnya," bisiknya seraya melanjutkan, "Yang di atas saja yang bisa membalas." Lalu dengan kebijaksanaan yang terpahat dari pengalaman hidup, Jestham mengatakan, "Kalau kita minta sama Tuhan, dikasih lalu bersyukur, itu biasa. Tapi kalau diminta tidak dikabulkan, tapi tetap bersyukur, itu baru luar biasa."
Untuk Bapak Purwanto, semoga setiap pagi membawa semangat baru, setiap orderan menjadi berkah, dan setiap senyum istri menjadi penyemangat di tengah lelah. Teruslah menjadi cahaya sederhana yang menginspirasi, bahwa dalam hidup yang keras ini, kebaikan dan kesabaran tak pernah sia-sia. Semoga jalan yang Bapak lalui setiap hari segera membawa Bapak menuju kehidupan yang lebih baik, dan semoga kesembuhan untuk Ibu Aidah datang secepat doa-doa tulus yang Bapak panjatkan.