Senyuman yang Tak Pernah Pudar: Kisah Ibu Penjual Kerupuk Pejuang Keluarga

Senyuman yang Tak Pernah Pudar: Kisah Ibu Penjual Kerupuk Pejuang Keluarga
Kesawan, Kota Medan - (23/02/25) Sore itu di kawasan Kesawan, sorot mata lelah namun raut wajah ceria nan penuh tekad seorang Ibu paruh baya itu menarik perhatian Jestham yang langsung menghampiri. Dengan keranjang besar berisi kerupuk dagangan yang Ia genggam. Tubuhnya yang kecil terlihat semakin ringkih di antara lalu lalang kendaraan, namun senyum ramahnya tetap tak pudar menyambut setiap orang yang lewat.
Setiap fajar menyingsing, sang Ibu telah bersiap mengawali perjuangannya. Langkah kakinya yang tak kenal lelah menyusuri sudut-sudut kota Medan, membawa kerupuk buatan sang suami. Telapak tangannya menjadi bukti nyata pengabdian tanpa pamrih, dari mentari terik hingga dinginnya malam yang baru berakhir ketika jarum jam menunjukkan pukul dua pagi ketika semua orang sudah terlelap.
Di balik senyumannya yang tak pernah pudar, tersimpan suka duka perjuangan berjualan kerupuk keliling. Ada hari-hari di mana dagangannya laris diserbu pembeli, tapi tak jarang Ia harus menerima penolakan pedas, terutama dari kafe-kafe yang menganggap kerupuknya "jorok" atau mengganggu estetika tempat mereka. Namun, seperti air yang mengalir melewati batu, Ia tak pernah patah semangat, setiap kali ditolak di satu tempat, Ia menguatkan hati dan melanjutkan langkah ke tempat berikutnya, sambil terus memeluk erat harapan bahwa mungkin di ujung jalan berikutnya, akan ada seseorang yang mau membeli dagangannya.

Seluruh perjuangan ini tak lain hanya untuk anak-anaknya. Tersimpan harapan besar untuk ketiga anaknya yang masih bersekolah. Setiap lembar uang hasil penjualan kerupuk itu Ia simpan dengan hati-hati, untuk biaya sekolah dan kebutuhan pokok keluarga. Meski sering kali dagangannya tak laku, semangatnya tak pernah surut. Senyum tulusnya tetap menghiasi wajah yang lelah, seolah semua kesulitan itu tak berarti dibanding cintanya pada anak-anak.
Jestham tergerak untuk membeli seluruh dagangan sang Ibu hari itu, Saat Jestham menanyakan total harga kerupuk yang masih tersisa 310 bungkus seharga Rp10.000 per bungkus, alih-alih menawar lebih rendah, dengan penuh empati Ia justru mengeluarkan uang Rp1.000.000 sambil berkata lembut, "Saya tawarnya satu juta, ya, Bu. Biar bisa buat kebutuhan lain anak-anak," Air mata bahagia tak terbendung mengalir di pipinya yang kecokelatan. Butiran air mata itu bercampur dengan rasa syukur yang dalam, membasahi kerutan-kerutan halus yang menceritakan perjuangan hidupnya. Tangannya yang bergetar menerima bantuan tambahan, sementara hatinya dipenuhi doa-doa kebaikan untuk sang dermawan.
Sebelum berpisah, pandangannya yang teduh mengarah ke kejauhan, seolah memandang masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Di balik senyumannya yang ikhlas, tersimpan tekad baja seorang Ibu yang rela berkorban apa pun demi pendidikan buah hatinya. Langkah kakinya yang lelah pun terasa lebih ringan, membawa pulang bukan hanya rezeki hari itu, tetapi juga harapan baru.
Di tengah segala kelelahan dan tetes keringat yang tak pernah kering, semangat sang Ibu tetap menyala bagai lentera di kegelapan, tak pernah padam oleh penolakan, tak pernah redup oleh kesulitan. Semoga setiap langkah kakinya yang tak kenal lelah diberi kekuatan, setiap kerupuk yang terjual menjadi berkah, dan setiap doa tulusnya untuk anak-anak dikabulkan. Untuk Ibu, semoga jalanmu dimudahkan, rezekimu dilapangkan, dan kelak kau menyaksikan buah hatimu tumbuh sukses, membalas semua pengorbananmu dengan kebahagiaan yang tak terhingga.