Seberkas Harapan di Ujung Jalan: Kisah Kakek, Becak, dan Kebaikan yang Menyentuh

oleh Ramanda Aulizabullet
Ditinjau oleh Thomas Iskandar
Sumber: youtube/@ownerjestham
Sumber: youtube/@ownerjestham

Seberkas Harapan di Ujung Jalan: Kisah Kakek, Becak, dan Kebaikan yang Menyentuh

Kota Medan - (02/02/25) Langit Medan sore itu terasa begitu berat ketika Jesica Thamrin, kala itu melihat seorang Kakek tua berdiri di samping becaknya yang sudah lapuk. Kakek Sihak Purba, 71 tahun, itu tampak begitu kecil di tengah hiruk-pikuk kota, matanya yang sebelah sudah tak berfungsi menyisakan bekas luka dalam. Dengan langkah gontai, Ia menunggu penumpang yang tak kunjung datang, tubuhnya yang ringkih seakan menahan beban puluhan tahun kesendirian.



"Kek, saya ada rezeki dari Tuhan, mau nggak ikut saya belanja sembako?" tanya Jestham dengan suara yang tiba-tiba membuat dunia sekitar kakek itu sejenak berhenti berputar. Tangannya yang penuh urat-urat menonjol gemetar saat menerima tawaran itu. Di minimarket terdekat, Jestham dengan teliti memilihkan beras, minyak goreng, dan sabun cuci, barang-barang sederhana yang bagi Kakek itu berarti segalanya. "Cukup yang penting saja," bisik Kakek itu, suaranya parau oleh usia dan kesepian.



Di antara rak-rak minimarket itu, Kakek Purba bercerita tentang matanya yang buta. "Dulu kerja di pabrik karet, kena cuka pembeku," ujarnya sambil mengusap bekas luka di wajahnya yang keriput. Ia sempat berobat dua minggu di USU, tetapi nasib berkata lain. Jestham mendengarkan dengan dada sesak ketika kakek itu mengaku KTP-nya hilang sejak 1979, sebuah dokumen kecil yang membuatnya terasing dari sistem selama puluhan tahun.



<br>
<br>


Seusai kejadian yang telah 30-an tahun silam itu, Ia menyendiri. Tidak memiliki seorang pendamping yang tentu membuatnya kesepian dan juga memiliki perasaan sakit yang mendalam. Matanya berkaca-kaca, Ia mengaku merasa seperti manusia gagal, sebuah beban yang dipikulnya selama 41 tahun terakhir. Becaknya yang usang menjadi saksi bisu perjuangannya, setiap hari Ia mengayuh tanpa tahu apakah cukup untuk makan malam. Ketika sakit, Ia hanya bisa pasrah atau berobat ke puskesmas dengan uang seadanya.



Sebelum berpisah, saat Jestham menyodorkan sejumlah uang sebagai tambahan rezeki yang akan diberi, tangan Kakek itu gemetar hebat. Air mata yang selama ini tertahan akhirnya tumpah. "Ini dari Tuhan, Kek," bisik Jestham, "Dia rindu mendengar doa Kakek. Jangan biarkan kepahitan merusak kehidupan kita, cari Tuhan agar damai sejahtera menyertai hati kita, ya, Kek?"



Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ada secercah harapan di matanya yang sebelah. Kisah ini bukan sekadar tentang bantuan materi. Ini adalah catatan tentang bagaimana sebuah pertemuan singkat bisa mengikis tembok kesendirian yang dibangun selama puluhan tahun. Tentang bagaimana kebaikan kecil bisa menjadi jembatan bagi seseorang untuk kembali percaya bahwa hidup masih menyimpan belas kasih.

Referensihttps://youtu.be/LJIp5nFfw0E